Setiap manusia pasti akan merasakan kematian. Hari ini, Allah menunjukkan kekuasaannya kepada saya melalui kematian seorang ibu dari beberapa anak. Istri dari Dirut PT Balai Pustaka Saiful Bahri meninggal dunia pagi ini karena kanker yang dideritanya.
Kemarin, saya menerima kabar istri Pak Saiful kritis dari seorang teman. Saya mencoba mencari kabar dari teman yang tinggak dekat rumahnya, tapi tak ada balasan. Sekolah Tebing, anak saya, tidak jauh dari Puri Nirwana, tempat tinggal Pak Saiful. Jadi, setelah mengantarkan Tebing, saya mengambil jalan memutar yang melewati rumah Pak Saiful. Tampak kesibukan di rumahnya dan tumpukan bangku. Jangan-jangan…
“Ada apa, Pak?” tanya saya kepada seorang satpam yang posnya tak jauh dari rumah Pak Saiful.
“Istrinya Pak Saiful meninggal jam 7 pagi tadi,” jelas Pak Satpam.
“Innalillahi wainna ilaihi rajiun,” ucap saya.
Pagi itu, saya tidak mengenakan kaca mata. Saya merasa melihat Pak Saiful dari kejauhan, ternyata bukan. Dari wajahnya yang mirip dengan Pak Saiful, saya menduga lelaki itu adiknya. Saya hampiri lelaki yang tengah sibuk itu saat ia baru keluar dari rumah.
“Pak Saifulnya ada?”
“Masih di Jakarta,” sahutnya. Kemudian, ia menerima telepon. Dari percakapannya dengan seseorang ditelepon, saya mendapat informasi, jenazah istri Pak Saiful masih di rumah sakit di Jakarta. Rencananya, bakda zuhur prosesi pemakaman akan dilaksanakan.
Saya pulang. Di rumah, saya menerima kabar kematian istri Pak Saiful melalui grup whatsapp kantor saya. Teman-teman kantor akan bertakziyah ke rumah Pak Saiful.
Siang itu, setelah menjemput Tebing bersama Rayya, saya kembali ke rumah Pak Saiful. Tenda sudah didirikan. Para pelayat telah berdatangan, termasuk teman-teman kantor saya. Saya hampiri Pak Saiful, lalu mengucapkan bela sungkawa. Setelah itu saya pulang ke rumah untuk mengantar Tebing dan Rayya.
Setelah shalat zuhur, saya kembali ke rumah duka. Saat itulah, saya melihat wajah polosnya. Wajah anak Pak Saiful yang tidak menampakan semacam duka. Usianya masih terlalu kecil untuk mengerti tentang kematian. Barangkali, ia hanya 2 tahun lebih tua dari Tebing yang baru berusia 6 tahun.
Rumahnya masih ramai. Ia masih bisa melihat ibunya, meski ibunya itu sudah tidak bisa mengajaknya bermain lagi. Bagaimana jika rumahnya telah sepi? Apa yang dirsakannya setelah ibunya tak lagi bersamanya karena telah dimakamkan?
“Ayah, Bunda mana?” Mungkin begitu pertanyaan yang akan dilontarkannya saat rumahnya mulai sepi, saat ia mulai menyadari ibunya tak ada lagi di rumah itu.
Ibu selalu lebih dekat dengan anak-anaknya, terutama ibu rumah tangga yang memilih untuk tidak bekerja di luar rumah. Kehilangan ibu adalah kehilang kebersamaan dengan seseorang yang selama ini selalu berbagi tiap detik bersama dirinya. Berbeda dengan ayah yang hampir sebagian besar waktunya dihabiskan di luar rumah, jauh dari anak-anaknya. Jadi, jangan tanyakan bagaimana rasa kehilangan yang akan muncul dalam diri anak polos itu. Ah, saya tidak mampu membayangkannya.
Akhirnya, saya hanya bisa berdoa, semoga Pak Saiful memiliki jawaban terbaik saat anaknya bertanya, “Ayah, Bunda mana?”. Semoga. (Denny Prabawa)