Wildan, Bocah Pemulung Jadi Tulang Punggung Keluarga



Kemiskinan adalah fenomena sosial kehidupan yang kerap menjadi persoalan utama bagi Pemerintah untuk segera menanggulanginya. Namun proses penanggulangan kemiskinan memang tidak mudah seperti halnya kita membalikan kedua telapak tangan, dan pastinya dibutuhkan mental-mental emas para pemangku kebijakan di Negeri ini. 
Ditengah ramainya pembangunan infrastruktur Kota Bekasi, masih terdapat seorang anak yang rela menjadi tulang punggung keluarganya bertahun-tahun. Ya, sebut saja Wildan Muamar (16) warga Kelurahan Margahayu, Kecamatan Bekasi Timur, Jalan Dewi Sartika RT02/RW06, Gang Gabus, yang rela manjadi seorang pemulung di lingkungan tinggal bersama keluarganya.
Wildan adalah seorang pelajar yang duduk di bangku kelas 1 SMK Panglima Jayakarta Keranji. Setiap hari ia kesekolah menggunakan sepeda, yang memakan jarak hingga 3,51 Kilometer untuk sampai ke Sekolahnya tersebut. 
Ketika di temui Beritaekspres.com, di kediaman neneknya, Gang Gabus RT02, Wildan yang sedang bersiap-siap melakukan aktifitasnya sebagai pemulung menceritakan alasan ia mengapa mau melakukan hal yang jarang dilakakukan oleh anak seusianya.
“Saya disini tinggal sama Bapak, Nenek, Bibi dan Adik. Bapak saya bernama Mustofa, dia mengalami kelumpuhan kaki sejak tahun 2009 lalu. Sedangkan Ibu sudah meninggal sejak Bapak keluar dari rumah sakit,” ujar Wildan, Rabu (27/1/2016).
Ayah Wildan divonis dokter mengalami TBC Tulang (Tuberkulosis Tulang) sejak tahun 2009 lalu. Penghasilan yang di dapat Wildan dari memulung setiap hari adalah hasil dari iuran warga RT02, sebesar Rp750 Ribu, perbulannya. Uang iuran tersebutlah yang diandalkannya untuk membiayai kehidupan sehari-hari keluarganya, hingga kebutuhan ia bersekolah.
“Dari pada saya ngemis, lebih baik saya bantu warga, dengan memulung sampah-sampahnya. Alhamdulillah setiap bulan di kasih sama Pak RT, Rp750.000. Cukup tidak cukup sebenarnya,” kata Wildan seraya bersenyum.
Sementara dikatakan oleh Irfan (23), salah seorang kreator di Padepokan seni dan kreativitas sampah menjadi rupiah, yang berlokasi tidak jauh dari kediaman nenek Wildan mengatakan, bahwa kehidupan Wildan bersama keluarganya memang sangat memperihatikan. Ayah Wildan bernama Mustofa (39) yang menjadi salah satu anggota di Padepokan tersebut memang mengalami kelumpuhan sejak enam tahun lalu.
“Pak Mustofa sudah lama lumpuh, namun Alhamdulillah semenjak didirikannya padepokan tahun 2012 ini oleh Mas Riry (Pembina Padepokan), Pak Mustofa bisa berkreatifitas disini (padepokan),” ungkapnya kepada Beritaekspres.com.
Irfan mengakui, bahwa keberadaan Wildan yang setiap hari menjadi pemulung memang begitu miris. “Setiap hari dia (Wildan) mulung. Kalau pulang sekolah dia langsung mulung sampai jam 8 malam. Kadang hasil mulungnya dia suka kami manfaatkan disini, contohnya seperti botol aqua bekas, kaca bekas, kayu bekas, untuk menjadi bahan Radio Kayu atau Kobeks milik khas Kota Bekasi,” pungkasnya.
Lanjut Irfan, selain Ayahnya yang lumpuh, Bibi Wildan juga mengalami penyakit psizhoprenia yang dialami sejak kecil. Sementara Adik Wildan, Aldi baru berusia 6 tahun dan baru duduk di bangku kelas 6 SD. Sedangkan Nenek Wildan yang berusia 65 tahun, bernama Mardiyah tidak bekerja.
“Wildan harus menafkahi keluarganya dengan hasil mulung yang ia dapat perbulannya. Saat ini rumah yang Wildan tinggali adalah rumah nenek Wildan. Dulu waktu rumahnya belum di jual untuk pengobatan bapaknya selama sakit, Wildan tidak numpang sama neneknya. Rumah yang dijual pak Mustofa itu adalah hasil warisan dari neneknya. Sekarang Wildan tinggal sama nenek Mardiyah,” ujarnya.
Irfan menambahkan, bahwa selama ini keluarga Wildan belum pernah mendapat bantuan dari Pemerintah Kota Bekasi. “Boro-boro bantuan, buat makan aja asal ketemu, itu sudah sangat bersyukur,” terangnya.
Ketika di jumpai, Mustofa, Ayah Wildan menjelaskan semangat sekolah anaknya yang begitu sangat tinggi, meski harus mengkais rezeki dari memulung setiap harinya. Namun ia mengeluhkan, ketika ingin mengambil rapot anaknya di SMK Panglima Jayakarta.
“Waktu itu karena Wildan tidak cukup nilainya masuk ke sekolah negeri, akhirnya melalui Irfan yang kenal dengan Bu Sri (Kepala Sekolah SMK Panglima Jayakarta), Wildan bisa masuk sekolah itu. Awalnya sih tidak di mintai biaya, tapi pas kemarin mau ambil rapot yang di wakili oleh keponakan saya, rapot Wildan tidak bisa ambil, karena alasannya Wildan masih kekurangan biaya sekolah sebesar Rp2.800.000,” ungkap Mustofa.
Selama satu tahun Wildan bersekolah di Panglima Jayakarta (Pangjay), bantuan pemerintah untuk siswa miskin seperti Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Siswa Miskin (BSM), serta Program Kartu Indonesia Pintar tak kunjung ia dapati.
“Waktu itu pernah pihak sekolah menyuruh saya mengajukan surat-surat keterangan miskin, tapi sampai saat ini belum juga ada. Wildan sudah satu tahun sekolah di Pangjay,” Tutupnya. (M.Alfi)